Monday, February 12, 2007

introspeksi diri lah...

LOOK AT INSIDE, DON’T BLAME OUTSIDE

Mengutip ucapan seorang Profesor: ”Gila!!! Perputaran uang di bisnis obat tuh larinya banyakan ke dokter, hampir...(saya lupa angka pasti yang Beliau ucapkan, tapi saya ingat di atas: 50%)...dari uang yang muter di bisnis obat masuk ke saku DOKTER. Jadi wajar aja lah klo Kepala Badan POM-nya dokter. Lha wong apotekernya sendiri ga kompak!”

Rasanya klop dengan yang selama ini saya dengar, walau hanya dari obrolan yang mewarnai permainan bridge kami, bahwa sebagian besar anggaran marketing perusahaan-perusahaan farmasi dialokasikan untuk entertain—kalaulah tidak etis saya sebut ”nyogok”—para dokter. Dan saat saya tanyakan ke Ibu saya—yang kalau sore hari jaga di tempat praktek seorang Dokter Spesialis, dia menjelaskan dengan gamblang: ”emang tuh, kalau lagi pengen seminar ke US, dia tinggal curhat aja ke setiap medrep yang dateng. Ntar mereka bakal berlomba nawarin paket perjalanan yang paling asik! Nah, si dokter tinggal milih aja mana yang paling cihuy...

Satu cerita lagi dari seorang teman yang—awalnya—ingin menerapkan idealismenya di dunia marketing yang sudah dia dengar sendiri kebobrokannya. Tapi terbuktilah ucapan seorang sahabat di zaman Rasulullah saw dahulu (saya lupa lagi nih, tapi yang pasti salah satu dari Khulafaur Rasyidin...) bahwa kejahatan yang terorganisir (saya artikan: sistemik) akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Singkat cerita, teman saya ini mencoba bertahan selama + 3 bulan di awal masa kerjanya sebagai medrep untuk tidak mengeluarkan sepeser pun rupiah untuk entertain setiap dokter yang dia kunjungi. Dia mencoba istiqamah hanya menjelaskan mekanisme kerja dan kualitas obat perusahaannya pada dokter-dokter tersebut. Namun di ujung bulan ke-3 itu pula dia ditegur oleh atasannya: ”saya heran, kamu khan sudah saya kasih duit untuk entertain dokter, kok ngga kamu pake? Liat tuh, sales kamu ga naek-naek, alias lurus-lurus aja! Pokonya jauh dari target, kita ga bisa kaya gini terus...toh kamu sendiri ikut rugi, kaga dapet bonus!!!” Maka teman saya ini pun menyerah, dan dia mulai bermain normal seperti semua teman-temannya sesama medrep.

Saya sendiri kurang tahu anggaran marketing yang normal dari suatu bisnis harusnya seberapa besar. Tapi yang saya yakin, anggaran marketing itu akan mempengaruhi harga jual produk ke konsumen. Sebagai gambaran, di perusahaan tempat saya dulu bekerja, divisi marketing adalah bagian yang benar-benar terpisah dari divisi produksi/manufaktur. Jadi divisi manufaktur membuat obat dan menghitung biaya produksi yang diperlukan, kemudian—bisa dikatakan—dijual ke divisi marketing dengan harga yang disepakati bersama. Selanjutnya obat ada di tangan divisi marketing sepenuhnya. Dapat terlihat, jika divisi marketing ini menganggarkan biaya marketing yang terlampau besar—selain pemasangan iklan di televisi-koran-papan reklame juga harus tetap meng-entertain dokter, maka harga obat yang diberikan ke tangan PBF (Pedagang Besar Farmasi) resmi akan semakin besar pula. Akhirnya, konsumen harus merasakan harga obat yang sangat mahal.

Konsekuensi lain yang lebih mengkhawatirkan dari sistem marketing yang ”sangat bergantung pada dokter” ini adalah pemberian obat yang tidak rasional oleh para dokter; dokter akan mengeluarkan/meresepkan obat tertentu dalam jumlah besar yang mengakibatkan tidak rasionalnya resep-resep yang dia tulis. Dapat dipahami dengan mudah, karena dokter telah banyak ”menerima” pemberian dari perusahaan farmasi tertentu maka dia akan ”berterimakasih” dengan banyak mengeluarkan/meresepkan obat dari perusahaan farmasi itu sehingga penjualan produk obat perusahaan itu meningkat.

Contoh pertama, ada seorang dokter yang—apapun penyakit pasiennya—akan selalu mengikutsertakan obat A kedalam racikannya. Contoh kedua, meskipun dokter tersebut sudah mengetahui penyakit si pasien sudah mereda, dia tetap meresepkan obat A dalam dosis yang tinggi. Kemungkinan besar, dokter tersebut sudah menerima entertain dengan nilai yang sangat besar dari perusahaan yang memproduksi obat A tadi. Ini hanya dapat dibuktikan dan disaksikan di lapangan langsung; berbicang-bincanglah dengan para medrep, atau korek-lah sang dokter langsung—bandingkan antara dokter putih dan dokter hitam (you know lah what I mean..?!), atau selidiki dari para perawat yang notabene merupakan orang terdekat dokter dan sedikit-banyak mengetahui kondisi pasiennya, atau yang paling penting nih: jadilah apoteker yang baik yang selalu standby di apoteknya dan melihat langsung lembaran-lembaran resep tersebut sambil dapat berkomunikasi (~counseling, ciehhh..!!) dengan sang pasien.

Saya kenal dengan seorang dokter putih, dan dia pernah menjelaskan bahwa suatu pengobatan haruslah holistik dan mempertimbangkan segala aspek, termasuk aspek ekonomi pasien dan keluarga pasien. Jadi jangan pukul-rata ­berprasangka buruk terhadap semua dokter. Justru para apoteker sendiri yang harus introspeksi diri: sepak terjang para apoteker di perusahaan-perusahaan farmasi dan kelakuan para apoteker penanggungjawab apotek ikut berperan dalam kekacauan bisnis obat ini. Mengingat apotek adalah salah satu ujung mata rantai distribusi obat, maka jadilah apoteker-apoteker yang bertanggungjawab di apotek yang—jika prasangka buruk saya akan profesi dokter di atas benar terjadi—dapat mencegah kasus-kasus pemberian obat yang tidak rasional sekaligus menutup pintu ”main mata” antara perusahaan farmasi dan dokter.

*(as usual..) Yang ga sepakat jangan marah! Mangga’, rame’in aja blog ini ama tulisanmu, otreh?!

…life’s just a small step…a step to meet ALLAH swt Smiling to you... :)

* ArAfAt *

5 comments:

Anonymous said...

1. Pas saya masukin paper buat Marketing Innovation Award-nya SWA, sebenarnya di posisi pengusaha, saya akan langsung nembak dokter, karena cost marketingnya jauh lebih segmented dan targeted. Tapi, karena kebetulan saya kuliah di farmasi ITB, saya tahu secara regulasi itu tidak etis, kemudian saya lakukan rekayasa ( engineering) di posisi optimasi apotek dengan proses inovasi pada "percepatan" sesuai hukum Newton 2 ; F= m.a, maksud saya, stok akan selalu ada, yang terpenting adalah percepatan dan likuiditas barang, dan untuk itu saya menggunakan toolsnya adalah IT dari segi hardware dan apoteker yang responsif dari segi humanware.

2. Dari segi apotekernya, memang harus ada sense of entrepreneurship yang kuat, inti kendali ada pada karakter : Kemandirian dan Kendali- Kontrol- Kuasa atas apotek sendiri. Farmasis di apotek ( atau apoteker, saya kok lebih nyaman pek farmasis ya ?...)memang memiliki sense pelayanan layaknya seorang dokter, namun pengendalian apotek beserta semua aspek bisnis dan pengembangannya adalah sense of entrepreneurship, dan itu memang tidak diajarkan di kuliah manapun ( intinya mah terjun, hajar, dan sikat!). Karena SBM sekalipun isinya juga teori (beuh...)

3. Biaya marketing bisa sampai 50 % itu wajar menurut saya, overhead farmasi tidak terlalu mahal, tapi ongkos risetnya memang gede, tapi karena 80% produknya me too, optimasi berarti bukan di riset tapi di marketing. Maaf, ini analisa pengusaha, bukan periset ( peace...)

4. Pasar Farmasi Indonesia adalah yang terendah di Asia Tenggara ( wuiih, lebih rendah dibanding Singapura ! Busyet!). Berarti perlu ada edukasi pasar mengenai fungsionalitas sebuah produk bernama "obat", apalagi ditambah daya beli masyarakat yang rendah, mau gitu ( kalau saya) sebagai pengusaha invest di Riset ? Saya pikir, itu resiko yang teramat besar. Perusahaan farmasi kan intinya di bisnis,bukan di produk obatnya, dan mereka perlu berpikir ulang untuk invest di Riset manakala marketingnya jatuh,apalagi dengan pasar kecil seperti di Indonesia ? Hah, mau rugi apa invest buat riset !

5. Hmm, diatas adalah sekelumit overview yang saya buat di weblog saya tentang bisnis farmasi di www.bisnisfarmasi.wordpress.com...Yang jelas di mata saya, farmasi adalah sektor yang sangaat cantik, dari hulu ke hilirnya begitu menawan dan aduhai untuk diajak bermain, makanya saya buat overviewnya, siapa tahu teman- teman yang sudah tahu teori skala lab ingin terjun dan mengenal rekayasa proses dan bisnisnya...Sukses!

Galih Prasetya Utama

Anonymous said...

untuk industri farmasi yang menurut saya kondisinya sangat memprihatinkan.
saya PROTES sekali karena dari pelaksanaannya kita terpuruk.

Oleh karena itu, almamater kita selalu bisa mencari pelarian kembali ke kampus.

Kita perlu memberikan basic thinking terhadap adik kelas kita.
kita punya kompetensi, gunakanlah
kita punya hati, pakailah.
kita punya potensi, perbesarlah

INTINYA,

kita adalah agent of change

ikuti saja arusnya
dan kita harus mampu bertahan dalam keadaan apapun juga.

oleh karena itu, kita bisa jadi DOSEN
memberikan adik dan kakak kelas kita sebuah wawasan berpikir,

dan kita punya tempat tongkrongan favorit yaitu suami kita.
jadi dia dapat mensupport kita..
ELFA
PharmaSipil
TAFA
FIFA
MAFA
FAFA

semua tergantung kompetensi individu

MAJU TERUS PANTANG MUNDUR>>>

Anonymous said...

Ck..ck..ck
Hebat nih..banyak pemikiran idealis...Nah, terus harus gimana nih para apoteker 'mengubah' kondisi yang telah terjadi di lapangan ?

Anonymous said...

ni temen farmasi ngomongin apaan si...zzzzz

nyari galih di om google eh malah ke sini hihihi.

shindu ariyanto.
aku@tolong.in

Anonymous said...

pagi...
saya vera,,
saya lulusan 2008/2009 akuntansi
sekarang sya bekerja dperusahaan korea,,awalnya saya ditawari jd dokumen controller,tp karna kerjanya cma 6 bln 1x,sekarang saya djadikan PPIC,,
saya ga tau apa yg harus dilakukan oleh seorang PPIC,,saya mohon bantuannya,,

terimakasih