Thursday, February 22, 2007

CR... (Clinical Research)

Dulu waktu wawancara kerja ga ada bayangan sama sekali tentang uji klinik. Kayanya itu cuman 1 halaman dari sekian buku catetan farmol gw. Pas wawancara malah banyakan gw yang nanya ke usernya tentang CR. Sekarang udah kecebur disini.... asik juga, lumayan memenuhi kriteria pekerjaan yang gw pinginin.
Kalo baca catetan farmol kayanya uji klinik tu gampang lah, catetannya aja cuman 1 halaman. ternyata repot juga ya.
Secara garis besar, clinical research dibagi 2, data management and project management.
1. Data Management
Kerjanya mempersiapkan desain penelitian, perijinan (ke Badan POM and komite etik), dan nanti kalo semua data pasiennya sudah terkumpul dia yang menganalisis secara statistik. Kalo hasilnya OK mempersiapkan pula untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah.
2. Project Management
Bagian ini lebih terjun langsung ke lapangan untuk nyari dokter2 yang qualified dan berkomitmen untuk penelitian, lalu juga memonitor apakah peneliti (yaitu dokter2 tsb) melakukan penelitian sesuai protokol dan sesuai standar GCP, dan yang terutama memastikan data pasien valid, akurat. GCP = Good Clinical Practice = CUKB = Cara Uji Klinik yang Baik

Supaya lebih kebayang, saya coba ceritain alur kerjanya. Misal suatu obat baru X (bisa obat sintetis atau obat herbal yang ingin jadi fitofarmaka, atau permintaan khusus dari BPOM yang minta sebelum obat tersebut dapet no reg diuji dulu efeknya pada pasien orang Indonesia) akan diuji klinik. Maka mula2 harus dipastikan data uji preklinisnya ada dan OK. Lalu searching2 di internet, mengenai penelitian tentang obat tersebut yang sudah ada sebelumnya. Misal obat X itu golongan AHT (Anti HyperTension). Dari hasil searching2 kita mulai buat design penelitiannya apakah mau dibandingkan dengan placebo, active control, atau both. lalu active controlnya mau golongan diuretik, ACEi, CCB, dll. Apa primary endpointnya (tekanan darah pastinya kalo obat AHT) lalu apakah ada secondary endpoint (misal profil lipid) trus pengobatannya gimana? titrasi atau flat aja, berapa lama, dll. biasanya kita buat design awalnya trus didiskusiin juga sama penelitinya dan konsultan kita.
Kalo designnya protokol udah beres, kita buat design CRF (case record form = formulir laporan kasus) yang gunanya untuk mencatat semua data pasien yg diperlukan. Lalu dibuat juga lembar informasi untuk pasien dan persetujuan pasien. Kalo udah beres, kita urus perijinan ke BPOM dan komite etik. ke BPOM kita ngajuin formulir UK-1 yang isinya ringkasan protokol penelitian lah intinya mah. ke Komite etik juga sama. Oiya Komite etik masih pada inget kan kuliah FRS? Pengajuan ke komite etik ini tergantung kita mau penelitian di mana. Misal kita mau penelitiannya di RSCM/FKUI maka kita ngajuin proposalnya ke komite etik RSCM. Misal kita mau penelitian di rumah sakit XYZ yang belum punya komite etik, maka bisa aja kita mengajukan proposalnya ke komite etik RSCM ntar dia yang nilai etis ga penelitian ini.

Kalo BPOM ok, Komite etik ok, maka penelitian sudah bisa dimulai. Sekarang mulai deh tanggung jawabnya project management untuk mngawasi pelaksanaan penelitian.
Peneliti (yaitu si dokter) mencari pasien yang kira2 memenuhi kriteria. Terus pasiennya diberi penjelasan mengenai penelitian ini, ntar kalo pasiennya setuju, tanda tangan di lembar persetujuan pasien. Baru deh pasiennya boleh ditindak. Kalo pasiennya ternyata nakal or ga patuh, bisa aja kita keluarin dari penelitian ini. Data2 si pasien dicatet di medical record n CRF. ntar kita crosscheck ke medical record apakah si dokternyalin datanya bener apa engga, trus kita cek juga apakah pasiennya memenuhi kriteria yang kita mau, trus treatmentnya sesuai protokol atau ga, datanya aneh atau ga. Oiya, kita juga mengontrol terus rekrutmen pasien. kalo rekrutmennya lambat, apa penyebabnya (apakah kriteria pasien yang terlalu susah atau dokternya males) dan langkah apa yang harus dilakukan untuk mempercepat rekrutmen pasien.

Jika sample size sudah mencukupi, maka data pasien ini akan dianalisa dengan metode statistik yang sesuai, oleh bagian data management. kalo hasilnya ok, tentu akan kita share juga dengan bagian marketing untuk membantu promosi. dan tentu saja dipublikasi di jurnal ilmiah. penulisan artikel publikasi kerjasama juga sama penelitinya. Mungkin dia pingin dimasukkin di jurnal mana yang ok, lalu kita bantu penulisannya jika dia membutuhkan bantuan (umumnya sih kita yang nulis ntar dokternya tinggal koreksi n nyantumin namanya).

Kalo data management itu banyakan berhadapan dengan komputer, internet, jurnal2, data. Sedangkan project management berhubungan dengan ketelitian, trus gimana cara menghadapi dokternya (ada yang cunihin, ada yang asik, ada yang strict, dll) pokonya gimana pinter2nya ngadepin mereka demi kelancaran penelitian dan agar hasilnya valid. Trus gimana caranya kita nyari2 info tentang situasi di site tersebut, karena mungkin aja penelitian jadi terhambat karena faktor dari luar. Trus cari info nama2 dokter yang emang seneng penelitian, siapa tau dibutuhkan untk penelitian selanjutnya

Sukanya di CR..... kalo proyeknya di luar kota ya jadi sering jalan2 keluar kota. Kalo melibatkan site di negara lain, ya jalan2 keluar negeri.
Banyak kenalan. Update terus dengan penelitian terbaru. Merintah2 dokter supaya kerjanya beres n bener (gaya lah..... secara sekarang ada di pihak sponsor alias yang punya proyek, dan dokternya jadi pelaksana proyek)

Yang suka bikin males kerja.... kalo kudu bongkar2 medical record yang ga jelas bentuk dan rupanya, kriting2 kertas dan tulisannya; ngeberesin supporting documents agar memenuhi standar GCP; ketemu dokter yang cunihin, kecentilan, kaga cakep, arogan

Sekarang ini ga banyak PMDN yang punya divisi CR. Setau gw dexa, kalbe, apalagi ya??
Kalo PMA yang punya divisi CR di Indonesia antara lain astra zeneca, Roche, Lundbeck...
CRO indonesia (contract research organization --> penyedia jasa uji klinik partikelir) antara lain namanya PUKO, Equilab, ga tau lagi.
Kalo PMDN, maka data and project management dilakukan di Indonesia. Tapi kalo PMA biasanya di Indonesia cuman ada Project management. Data management di headquarter atau di negara lainnya.

Apa lagi ya.... udah dulu deh. kalo ada pertanyaan lebih lanjut, silakan......

Monday, February 12, 2007

introspeksi diri lah...

LOOK AT INSIDE, DON’T BLAME OUTSIDE

Mengutip ucapan seorang Profesor: ”Gila!!! Perputaran uang di bisnis obat tuh larinya banyakan ke dokter, hampir...(saya lupa angka pasti yang Beliau ucapkan, tapi saya ingat di atas: 50%)...dari uang yang muter di bisnis obat masuk ke saku DOKTER. Jadi wajar aja lah klo Kepala Badan POM-nya dokter. Lha wong apotekernya sendiri ga kompak!”

Rasanya klop dengan yang selama ini saya dengar, walau hanya dari obrolan yang mewarnai permainan bridge kami, bahwa sebagian besar anggaran marketing perusahaan-perusahaan farmasi dialokasikan untuk entertain—kalaulah tidak etis saya sebut ”nyogok”—para dokter. Dan saat saya tanyakan ke Ibu saya—yang kalau sore hari jaga di tempat praktek seorang Dokter Spesialis, dia menjelaskan dengan gamblang: ”emang tuh, kalau lagi pengen seminar ke US, dia tinggal curhat aja ke setiap medrep yang dateng. Ntar mereka bakal berlomba nawarin paket perjalanan yang paling asik! Nah, si dokter tinggal milih aja mana yang paling cihuy...

Satu cerita lagi dari seorang teman yang—awalnya—ingin menerapkan idealismenya di dunia marketing yang sudah dia dengar sendiri kebobrokannya. Tapi terbuktilah ucapan seorang sahabat di zaman Rasulullah saw dahulu (saya lupa lagi nih, tapi yang pasti salah satu dari Khulafaur Rasyidin...) bahwa kejahatan yang terorganisir (saya artikan: sistemik) akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Singkat cerita, teman saya ini mencoba bertahan selama + 3 bulan di awal masa kerjanya sebagai medrep untuk tidak mengeluarkan sepeser pun rupiah untuk entertain setiap dokter yang dia kunjungi. Dia mencoba istiqamah hanya menjelaskan mekanisme kerja dan kualitas obat perusahaannya pada dokter-dokter tersebut. Namun di ujung bulan ke-3 itu pula dia ditegur oleh atasannya: ”saya heran, kamu khan sudah saya kasih duit untuk entertain dokter, kok ngga kamu pake? Liat tuh, sales kamu ga naek-naek, alias lurus-lurus aja! Pokonya jauh dari target, kita ga bisa kaya gini terus...toh kamu sendiri ikut rugi, kaga dapet bonus!!!” Maka teman saya ini pun menyerah, dan dia mulai bermain normal seperti semua teman-temannya sesama medrep.

Saya sendiri kurang tahu anggaran marketing yang normal dari suatu bisnis harusnya seberapa besar. Tapi yang saya yakin, anggaran marketing itu akan mempengaruhi harga jual produk ke konsumen. Sebagai gambaran, di perusahaan tempat saya dulu bekerja, divisi marketing adalah bagian yang benar-benar terpisah dari divisi produksi/manufaktur. Jadi divisi manufaktur membuat obat dan menghitung biaya produksi yang diperlukan, kemudian—bisa dikatakan—dijual ke divisi marketing dengan harga yang disepakati bersama. Selanjutnya obat ada di tangan divisi marketing sepenuhnya. Dapat terlihat, jika divisi marketing ini menganggarkan biaya marketing yang terlampau besar—selain pemasangan iklan di televisi-koran-papan reklame juga harus tetap meng-entertain dokter, maka harga obat yang diberikan ke tangan PBF (Pedagang Besar Farmasi) resmi akan semakin besar pula. Akhirnya, konsumen harus merasakan harga obat yang sangat mahal.

Konsekuensi lain yang lebih mengkhawatirkan dari sistem marketing yang ”sangat bergantung pada dokter” ini adalah pemberian obat yang tidak rasional oleh para dokter; dokter akan mengeluarkan/meresepkan obat tertentu dalam jumlah besar yang mengakibatkan tidak rasionalnya resep-resep yang dia tulis. Dapat dipahami dengan mudah, karena dokter telah banyak ”menerima” pemberian dari perusahaan farmasi tertentu maka dia akan ”berterimakasih” dengan banyak mengeluarkan/meresepkan obat dari perusahaan farmasi itu sehingga penjualan produk obat perusahaan itu meningkat.

Contoh pertama, ada seorang dokter yang—apapun penyakit pasiennya—akan selalu mengikutsertakan obat A kedalam racikannya. Contoh kedua, meskipun dokter tersebut sudah mengetahui penyakit si pasien sudah mereda, dia tetap meresepkan obat A dalam dosis yang tinggi. Kemungkinan besar, dokter tersebut sudah menerima entertain dengan nilai yang sangat besar dari perusahaan yang memproduksi obat A tadi. Ini hanya dapat dibuktikan dan disaksikan di lapangan langsung; berbicang-bincanglah dengan para medrep, atau korek-lah sang dokter langsung—bandingkan antara dokter putih dan dokter hitam (you know lah what I mean..?!), atau selidiki dari para perawat yang notabene merupakan orang terdekat dokter dan sedikit-banyak mengetahui kondisi pasiennya, atau yang paling penting nih: jadilah apoteker yang baik yang selalu standby di apoteknya dan melihat langsung lembaran-lembaran resep tersebut sambil dapat berkomunikasi (~counseling, ciehhh..!!) dengan sang pasien.

Saya kenal dengan seorang dokter putih, dan dia pernah menjelaskan bahwa suatu pengobatan haruslah holistik dan mempertimbangkan segala aspek, termasuk aspek ekonomi pasien dan keluarga pasien. Jadi jangan pukul-rata ­berprasangka buruk terhadap semua dokter. Justru para apoteker sendiri yang harus introspeksi diri: sepak terjang para apoteker di perusahaan-perusahaan farmasi dan kelakuan para apoteker penanggungjawab apotek ikut berperan dalam kekacauan bisnis obat ini. Mengingat apotek adalah salah satu ujung mata rantai distribusi obat, maka jadilah apoteker-apoteker yang bertanggungjawab di apotek yang—jika prasangka buruk saya akan profesi dokter di atas benar terjadi—dapat mencegah kasus-kasus pemberian obat yang tidak rasional sekaligus menutup pintu ”main mata” antara perusahaan farmasi dan dokter.

*(as usual..) Yang ga sepakat jangan marah! Mangga’, rame’in aja blog ini ama tulisanmu, otreh?!

…life’s just a small step…a step to meet ALLAH swt Smiling to you... :)

* ArAfAt *

Monday, February 05, 2007

PPIC...PPIC...PPIC...(asa tukang batagor keur jualan)

YOU KNOW IT AS “PPIC”… GREAT ALTERNATIVE ANYWAY

Sedikit cerita tentang kerja di INDUSTRI—diambil dari pengalaman dan pengamatan selama 6 bulan bekerja. Ngingetin lagi aja, klo Lulusan Farmasi (baik yang ngambil Apoteker ato engga, selanjutnya saya sebut: PHARMACIST) punya buaaanyaaak pilihan soal tempat/dunia kerja, jadi bukan cuma bikin obat yang bener di industri doank—bisa juga memasarkan obat-obat tersebut di wilayah Marketing, atau bisa bikin berbagai peraturan mengenai dunia farmasi di Dinas Kesehatan atau Balai Pengawasan Obat dan Makanan, atau bisa jadi mitra sejajar dokter di Rumah Sakit, atau bisa melayani pasien sekaligus berbisnis-ria di Apotek, atau juga bisa dll-dsb. (yang ga kesebut jangan marah! Langsung aja rame’in blog ini ama tulisanmu soal kerjaanmu okreh...PISS!!)

Naah, di industri sendiri banyak divisi/bagian yang bisa ”dicari lowongan kerjanya” oleh para pharmacist. Salah satunya—yang menurut saya kurang populer—adalah PPIC (Production Planning and Inventory Control). Tapi di tempat saya kerja dulu sih nama divisi ini: LOGISTICS. Dari namanya saja sudah bisa ditebak atau dikira-kira tentang kerjaan di divisi ini kan?! Kalau di-Indonesia-kan, kurang lebih: Perencanaan Proses Produksi dan Pengontrolan Inventaris (inventaris yang dimaksud disini tentulah yang berhubungan langsung dengan Proses Produksi).

Yang paling utama, PPIC bertanggungjawab terhadap pengadaan berbagai macam bahan baku yang diperlukan untuk proses produksi, baik bahan aktif, bahan pembantu, maupun bahan-bahan kemas. Pokonya bagaimana caranya proses produksi bisa terus berjalan tanpa muncul berbagai masalah yang bersumber dari inventaris bahan baku produksi, misalnya: “minggu depan jadwal produksi tablet TrimetUzan®, tapi kartonnya ga lolos QC nih, karton yang baru paling juga datengnya bulan depan!!!”

Selanjutnya, karena yang setiap saat paling tahu mengenai jenis dan jumlah stok bahan-bahan baku yang disimpan di gudang adalah PPIC, maka PPIC pula yang harus merencanakan mengenai jadwal produksi; apakah besok giliran produksi tablet, sirup, atau yang lainnya… Jadi: “klo stok bahan untuk produksi tablet TrimetUzan® lagi ga ada, ya dalam waktu dekat jangan nge-jadwal-in tablet ini donk untuk diproduksi!!!”

Jadi jelas ya, klo PPIC harus mempertimbangkan berbagai aspek. Jangan sampe karena pengen ”aman”, semua bahan baku didatangkan dalam jumlah besar dari awal! Perlu perhitungan yang jelas-matang-akurat akan berbagai hal, diantaranya:

  1. Dimulai dari target produksi yang telah disepakati bersama (misal: ”pokonya bulan depan tablet TrimetUzan® harus ada 100 batch, sirop TrimetUzan® cukup 200 batch aja, dan krim TrimetUzan® saya minta cukup 300 batch!!!”).
  2. Mempertimbangkan lead-time (”waktu tunggu” maksudnya..) kedatangan barang sejak tanggal pemesanan (misal: ”mendatangkan avicel dari India untuk kebutuhan tablet TrimetUzan® butuh waktu 6 bulan sejak keluar in-voice!!!”).
  3. Mempertimbangkan kapasitas gudang tentunya. (misal: ”kapasitas gudang kita cuma 20 pallet tuh!!!”).

Hmm...baru 3 poin nih, apalagi ya?! Tapi cukup simple khan utk kamu yang suka tantangan nge-manage dan nge-planning??? Maksud saya, bakal kerasa puyeng-nya tuh ntar klo udah ngerasain sendiri. Tapi tenang aja, dengan sistem inventory yang canggih (kalau perusahaannya make yang canggih ya..huehehe..) ga akan sulit kok untuk memantau stok bahan baku dan bahan kemas yang jenisnya bisa mencapai ratusan!

Dari tanggungjawab divisi PPIC seperti tergambar kasar di atas, tentunya akan muncul pekerjaan-pekerjaan turunan yang menjadi tanggungjawab para staf PPIC, misalnya saja:

  • Meeting bulanan atau setiap X-bulan sekali dengan divisi-divisi terkait untuk menentukan target produksi. Otomatis haruslah menyiapkan report-report (alias laporan-laporan tahunan, bulanan, bahkan mingguan?!) untuk menghadapi meeting tersebut.
  • Membuat jadwal produksi plus memeriksa/monitoring kondisi stok bahan-bahan baku/kemas.
  • Penyiapan/pembuatan berbagai macam dokumen yang berhubungan dengan pemesanan/pengadaan bahan baku atau bahan kemas.
  • Korespondensi atau—kalau perlu—kejar pake telepon para supplier bahan baku atau bahan kemas.
  • Berkoordinasi dengan Divisi Produksi mengenai proses produksi yang sedang berjalan, akan berjalan, atau ”tertunda” berjalan.
  • Berkoordinasi dengan Divisi Quality (QA/QC) mengenai proses pemeriksaan bahan-bahan baku/kemas yang masuk.
  • Berkoordinasi dengan pihak gudang (di tempat saya bekerja, gudang ada di bawah divisi PPIC langsung), memastikan kondisi fisik gudang (penuh dengan barang ataukah sangat penuh!!!), mengontrol proses penyimpanan, penerimaan, dan pengeluaran barang berjalan sesuai SOP (Standard Operational Procedure), pembuatan SOP sebagai panduan kerja para staf gudang. Nah, mungkin ilmu farmasinya para pharmacist di divisi PPIC akan terlihat dibutuhkan untuk poin terakhir ini—concern in handling and storage of the materials!!!

Jadi gimana??? Tertarik untuk hijrah dan berkarir di dunia ”planning”? Keliatan khan, klo disini wawasan sebagai seorang pharmacist tetap dibutuhkan, plus skill management and planning-mu juga... Dan—kata seorang temen—klo ”kepepet”, peluang masuk ke divisi PPIC perusahaan non-farmasi pun terbuka lebar, tinggal nambahin ”product knowledge” dari perusahaan ybs aja tho, insyaAllah keterima deh di perusahaan itu, tul ga?!

…life’s just a small step…a step to meet ALLAH swt Smiling to you... :)

* ArAfAt *

Friday, February 02, 2007

Peran apoteker di apotek..????


Hmm.. sebenernya ya fi belum terlalu kompeten buat nulis artikel kaya gini.. berhub pengalaman di apotek fi baru sekitar 1,5 taun.. tapi kita sharing pengalaman aja okey.. mudah2an bermanfaat dan makin banyak apoteker yang mau terjun langsung ke apotek.

Di apotek ngapain ya???

Fi pernah itung, kurikulum FA ITB waktu fi kuliah disana (2000-2005), matakul semacam farmol, anfisman, pokonya yang mengarah ke farmasi klinik itu Cuma 8.3% dari total 144 sks.. mana pas kuliah kalo ditanya saudara obat batuk yang bagus apa ya merknya? Jawabnya berdasarkan pengalaman pribadi, ga ilmiah, dan berhub kita apoteker, tau bahwa pilek itu self limited disease yang sembuh sendirinya, dan obat adalah racun dalam jumlah kecil, jarang minum obat,he2.. kecuali dah parah banget, dan itu juga simtomatik kan..?? begitu obat ga nyampe terapetik efek, balik lagi deh gejala2nya.. sempet bete juga sih, pengen si nyalahin jurusan, kita diajarin obat buat penyakit kelas berat, kaya hiperlipid, hipertensi, (yg sebenernya bukan kewenangan kita untuk diagnosa dan kasi obat secara bebas, tau Cuma untuk cross check aja, bisi dokternya mahiwal, he2..) tapi penyakit “ecek2” (kaya pilek, diare, penyakit kulit dll) yang kita perlu banget buat konsultasi obat bebas di apotek kalo kita praktek ga diajarin, dianggap bisa sendiri, padahal kan??? Tapi dipikir2, mungkin fi yang salah masuk perguruan tinggi, FA ITB kan menspesialisasikan diri dalam bidang TEKNOLOGI, makanya ada di Institut, bukan universitas.. mungkin harusnya masuk ke UNPAD farmasinya, katanya lebih concern ke apotek.. tapi ga tau juga deng, belum tll survey..

Tapi pede aja.. cuek bebek.. artikel di internet buat penyakit ecek2 banyak, mims ada, buku mayo clinic ada.. hayu lah.. lagian ga sendiri ini, ada suamiku tercinta, yang diantara sela2 kuliah S2nya, standby juga di apotek.. jadi kalo ada konsul pasien yang kita ga ngerti satu orang ngajak ngobrol di depan, gali2 informasi, yang satu ke belakang, nguping sambil cari info di buku (buku praktis woy, jangan mikir GG, AHFS, USPDI, Katzung, kelaut aja deh tu buku!!!), trus keluar deh ma pilihan obat2nya, he2.. kalo udah kepaksa, bakal bisa lah.. kalo ga bisa banget baru suruh ke dokter, he2.. kita belajar dari pengalaman. Experience IS the best teacher.. J

Lagian di apotek tuh pasti ada aja yang nanya, siapa apotekernya, lulusan mana, angkatan berapa??? Jadi apoteker itu DICARI.. mereka seneng kalo ada apotekernya.. ”jadi bisa konsul dong”, katanya.. terus pas liat kita masih kaya anak2: ”wah masih pada muda udah terjun di apotek” J.. terus ketergantungan terhadap kita tuh ada, terbukti waktu ada yang gantiin fi pas fi ujian, ada yang bilang: ”ah tunggu si neng/aa nya aja, pasti tau..” he2.. terus kalo apotek kita tutup karena no pharmacist, no service da no karyawan, pasti pada comment: ”kok tutup sih??” Padahal kan ada apotek lain tuh.. J tapi mungkin kalo apotekernya ga pernah ada, ga tau juga orang yang ada jawab apa..???

Terus fi ada kesempatan KP di RS swasta di bandung.. something opened my eye here.. dan mudah2an ada yang tergerak jg.. (btw sebelumnya klarifikasi nih: bagian ini tidak ditujukan utk mengenyampingkan profesi tenaga kesehatan lain ya??? Cuma untuk MEMOTIVASI para apoteker yang sedang TERTIDUR!!!) nah, yang KP di IFRSnya waktu itu ada apoteker (kita), Assisten apoteker (anak2 SMA kelas 3), dan perawat (mahasiswa D3).. dan guess what????? Pengetahuan tentang merk obat: SAMA AJA ‘bego’nya ma kita.. pengetahuan tentang farmol obat: jelas kita LEBIH TAU.. praktek meracik: SAMA AJA.. Cuma mereka tau tips n trick dikit, tapi hasil SAMA.. lalu kenapa AA dan perawat yang ada di apotek dan atau RS kaya AFAAAAL banget dan NGERTIIIII banget ttg obat, farmolnya dan merk dagangnya.. dan jadi GALAK banget ma kita apoteker muda.. J ternyata mereka adalah yang memiliki PENGALAMAN di apotek.. karena mereka STAY TUNED di apotek.. apoteker aja yang pada cabut, jadi GA PINTER2..

Menyadari hal ini.. bahwa sebenernya kita punya keilmuan yang lebih lengkap untuk memahami obat, dan kita semua tenaga kesehatan awalnya startnya sama ga taunya tentang merk dagang yang banyak itu.. sadarilah bahwa AA itu anak2 SMA, pernah liat buku ajar farmakologinya?? Silahkan liat sendiri.. yang ngajar mereka farmol juga apoteker2.. dan bahwa kita juga BISA dengan pengalaman.. fi pikir, KENAPA kita ga mau terjun di apotek..??? kenapa kita takut ama banyaknya merk dagang??? Kenapa kita takut ga bisa konsul ma pasien tentang obat???

ternyata BANYAK hal yang perlu perhatian kita di apotek.. bagaimana dexamethason dipakai untuk obat penambah nafsu makan, bagaimana amox laris kaya kacang goreng, bagaimana kita liat si pasien dengan obat yang dia makan getting better/worse penyakitnya, bagaimana banyaknya pasien yang bingung mau makan obat pilek apa, atau bagaimana membedakan jamur dari eksem... dan MASIH banyak lagi..

memang di apotek itu bukan tanpa masalah.. tapi kerja di bidang lain pun, industri, RS, bank, dll PASTI ada aja masalah mah.. ya ga?? Tapi semua orang juga belajar untuk mengatasinya.. dan di bidang apapun kita kerja kita PASTI belajar lagi.. jadi kenapa ga sekalian aja belajar buat konsul di apotek, he2... J

he2.. masih belum menjawab ya kita ngapain aja di apotek.. day to day nya begini..

  • Buka apotek pagi2..
  • Bersih2..
  • Pesen2 obat..
  • Terima delivery obat..
  • Masukin faktur..
  • Beresin faktur..
  • Kontra bon..
  • Bayar tagihan..
  • Makan siang..
  • Nonton TV..
  • Terima resep..
  • Layanin resep..
  • Konsul obat bebas..
  • Cari2 info buat konsul obat..
  • Nuker ribuan, ratusan, 20 rban, 10 rban.. dsb ke bank/pom bensin dll..
  • Bikin laporan keuangan.. lap pajak.. lap narkotik..
  • Itung penjualan..
  • Cocokin penjualan ma jumlah uang di kasir..
  • Cocokin pengeluaran kas belakang dan jumlah uangnya..
  • Cuci piring
  • Matiin lampu & kunci & gembok..
  • Tommorow is another day.. J

Ya gitu deh.. simple kan?? He2.. pokonya buat lingkungan apotek kita senyaman mungkin, biar kita BETAH dan TETAP SEMANGAT!!! J

Dewi Fitriani -a.k.a Fifi-