Sunday, June 29, 2008

Hak Pasien yang datang ke Apotek

Salah satu fungsi dari seorang Farmasis adalah memberikan informasi yang berkaitan dengan pengobatan yang sedang dijalani pasien. Informasi mengenai pengobatan ini sangat penting, karena dengan pemahaman pasien yang benar mengenai kondisi pengobatannya maka tingkat keberhasilan dari suatu pengobatan akan semakin besar.

Namun seperti yang kita ketahui bersama praktek layanan kefarmasian di negara kita ini masih dalam taraf perkembangan. Masih banyak Apotek atau tempat praktek kefarmasian yang lain yang belum memberikan layanan informasi obat kepada pasien dengan baik.

Salah satu cara untuk mempercepat perkembangan layanan kefarmasian tersebut adalah mendidik pasien untuk lebih kritis terhadap hak-hak pasien. Berikut pertanyaan standar yang dapat disampaikan ketika kita sebagai pasien datang untuk meresepkan suatu pengobatan:
  1. Apa nama obat yang diberikan dan tujuan penggunaan obat tersebut? Misal: Antasid, tujuannya untuk mengurangi iritasi lambung. Cara kerja obatnya dengan melindungi dinding lambung dari kelebihan asam yang dikeluarkan oleh kelenjar di lambung.
  2. Kapan obat tersebut harus dikonsumsi? Misal: Obat dikonsumsi sehari dua kali satu tablet sebelum makan, atau obat dikonsumsi jika pasien merasakan sakit.
  3. Sampai berapa lama obat harus dikonsumsi? Misal: untuk obat penahan rasa sakit, obat di konsumsi sampai rasa sakitnya hilang.
  4. Apakah obat tersebut dapat menyebabkan alergi?
  5. Apakah ada makanan atau hal lain yang harus dihindari ketika mengkonsumsi obat tersebut?
  6. Apakah ada efek samping yang mungkin timbul akibat konsumsi obat tersebut?
  7. Apakah ada versi generik dari obat yang diresepkan?
  8. Apa yang harus dilakukan jika lupa tidak mengkonsumsi obat?
  9. Apakah ibu hamil atau yang sedang menyusui aman mengkonsumsi obat tersebut?
  10. Bagaimana cara menyimpan obat tersebut, dan apa yang harus dilakukan jika akan membuang sisa obat yang sudah tidak terpakai?
Ingat anda berhak untuk mendapatkan informasi yang benar mengenai pengobatan yang sedang anda jalani, dan pilihlah tempat yang dapat memberikan layanan terbaik untuk anda.

Semoga bermanfaat.

-lutfi-

Menentukan berat minimum yang bisa ditimbang suatu Analytical Balance.

Minimum penimbangan biasanya sudah di informasikan oleh supplier balance melalui brosurnya. Tapi spesifikasi ini biasanya terlalu berlebihan alias terlalu bagus. Karena nilai minimum weight di brosur ditetapkan saat kondisi masih bagus (parameter rH, temperature, dan medan electromagnet ruangan terkontrol) dan ditetapkan di tempat yang berbeda alias di EROPA. Oleh karena itu disarankan untuk melakukan kualifikasi internal untuk menentukan minimum weight pada tempat timbangan itu digunakan. Penentuan ini dapat dilakukan setahun sekali atau setahaun 2 kali.Menentukan batas minimum penimbangan tergantung dari kemampuan membaca dari timbangan yang digunakan. misalnya untuk analytical balance, menurut USP termutakhir bagian <41> batas minimum penimbangan dihitung dari 3 x sd dari 10 kali penimbangan per berat yang ditimbang harus lebih kecil sama dengan 0.001
Contoh : Timbangan dengan readability : 0.1 g
Anak timbang 100 g ditimbang sebanyak 10 kali, memberikan hasil sbb : 100.0, 100.1, 100.2, 100.3, 100.4, 100.0, 100.1, 100.2, 100.3 dan 100.4 g
s.d = 0.14907 g
((3 * s.d)/massa yg ditimbang) = 0.00446 dimana ≥ 0.001
Maka, berdasarkan acuan USP, timbangan ini tidak dapat digunakan untuk penimbangan dibawah 100 g. Dan berat minimum yang dapat ditimbang adalah:

0.14907*3*100/0.1= 447.21 g

Source: e-mail Iman R.Dwiyanto, Hand out: Dasar-dasar menimbang yang benar "Metler Toledo".

-Lutfi-

Pusat Informasi Obat Nasional

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi yang sangat pesat telah menghasilkan berbagai produk terapetik/obat inovasi baru yang di satu sisi memberikan kontribusi signifikan dalam perbaikan pelayanan kesehatan, namun di lain pihak dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan apabila digunakan tidak tepat atau berlebihan. Informasi obat yang mencakup cara pemakaian, dosis, indikasi, dan efek samping menjadi sangat penting dalam menetukan keberhasilan dari suatu terapi pengobatan.

Sudah menjadi rahasia umum, banyak apotek di Indonesia yang belum memberikan pelayan informasi obat yang optimal kepada pasien selaku konsumen. Keberadaan lembaga yang dapat memberikan informasi obat kepada konsumen menjadi hal yang penting dalam perbaikan pelayanan kesehatan.

Pusat Informasi Obat Nasional Badan POM (PIO Nas) mulai di'launch' pada Juni 2005. Layanan yang diberikan mencakup pemberian informasi dan konsultasi obat untuk semua kalangan baik masyarakat awam maupun profesional kesehatan (seperti dokter, apoteker, perawat) dan juga mahasiswa.

Fasilitas yang dimiliki PIO Nas antara lain data 'approved labelling' semua obat/suplemen makanan/obat tradisional yang disetujui beredar di Indonesia, literatur/pustaka yang terus di'update' agar memenuhi syarat keterkiniannya, dalam bentuk buku, CD atau jurnal serta akses internet untuk mendapat informasi yang obyektif, valid dan terkini.

Dengan adanya lembaga ini, diharapkan informasi obat dapat diakses dengan mudah oleh pasien, sehingga tingkat keberhasilan dalam terapi pengobatan akan semakin baik.

Jadi jika anda membutuhkan informasi mengenai obat, jangan ragu untuk menghubungi PIO Nas Badan POM. Telp/Fax : 021 - 4259945/42889117 Email : informasi@pom.go.id

Selamat mencoba.

Thursday, February 22, 2007

CR... (Clinical Research)

Dulu waktu wawancara kerja ga ada bayangan sama sekali tentang uji klinik. Kayanya itu cuman 1 halaman dari sekian buku catetan farmol gw. Pas wawancara malah banyakan gw yang nanya ke usernya tentang CR. Sekarang udah kecebur disini.... asik juga, lumayan memenuhi kriteria pekerjaan yang gw pinginin.
Kalo baca catetan farmol kayanya uji klinik tu gampang lah, catetannya aja cuman 1 halaman. ternyata repot juga ya.
Secara garis besar, clinical research dibagi 2, data management and project management.
1. Data Management
Kerjanya mempersiapkan desain penelitian, perijinan (ke Badan POM and komite etik), dan nanti kalo semua data pasiennya sudah terkumpul dia yang menganalisis secara statistik. Kalo hasilnya OK mempersiapkan pula untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah.
2. Project Management
Bagian ini lebih terjun langsung ke lapangan untuk nyari dokter2 yang qualified dan berkomitmen untuk penelitian, lalu juga memonitor apakah peneliti (yaitu dokter2 tsb) melakukan penelitian sesuai protokol dan sesuai standar GCP, dan yang terutama memastikan data pasien valid, akurat. GCP = Good Clinical Practice = CUKB = Cara Uji Klinik yang Baik

Supaya lebih kebayang, saya coba ceritain alur kerjanya. Misal suatu obat baru X (bisa obat sintetis atau obat herbal yang ingin jadi fitofarmaka, atau permintaan khusus dari BPOM yang minta sebelum obat tersebut dapet no reg diuji dulu efeknya pada pasien orang Indonesia) akan diuji klinik. Maka mula2 harus dipastikan data uji preklinisnya ada dan OK. Lalu searching2 di internet, mengenai penelitian tentang obat tersebut yang sudah ada sebelumnya. Misal obat X itu golongan AHT (Anti HyperTension). Dari hasil searching2 kita mulai buat design penelitiannya apakah mau dibandingkan dengan placebo, active control, atau both. lalu active controlnya mau golongan diuretik, ACEi, CCB, dll. Apa primary endpointnya (tekanan darah pastinya kalo obat AHT) lalu apakah ada secondary endpoint (misal profil lipid) trus pengobatannya gimana? titrasi atau flat aja, berapa lama, dll. biasanya kita buat design awalnya trus didiskusiin juga sama penelitinya dan konsultan kita.
Kalo designnya protokol udah beres, kita buat design CRF (case record form = formulir laporan kasus) yang gunanya untuk mencatat semua data pasien yg diperlukan. Lalu dibuat juga lembar informasi untuk pasien dan persetujuan pasien. Kalo udah beres, kita urus perijinan ke BPOM dan komite etik. ke BPOM kita ngajuin formulir UK-1 yang isinya ringkasan protokol penelitian lah intinya mah. ke Komite etik juga sama. Oiya Komite etik masih pada inget kan kuliah FRS? Pengajuan ke komite etik ini tergantung kita mau penelitian di mana. Misal kita mau penelitiannya di RSCM/FKUI maka kita ngajuin proposalnya ke komite etik RSCM. Misal kita mau penelitian di rumah sakit XYZ yang belum punya komite etik, maka bisa aja kita mengajukan proposalnya ke komite etik RSCM ntar dia yang nilai etis ga penelitian ini.

Kalo BPOM ok, Komite etik ok, maka penelitian sudah bisa dimulai. Sekarang mulai deh tanggung jawabnya project management untuk mngawasi pelaksanaan penelitian.
Peneliti (yaitu si dokter) mencari pasien yang kira2 memenuhi kriteria. Terus pasiennya diberi penjelasan mengenai penelitian ini, ntar kalo pasiennya setuju, tanda tangan di lembar persetujuan pasien. Baru deh pasiennya boleh ditindak. Kalo pasiennya ternyata nakal or ga patuh, bisa aja kita keluarin dari penelitian ini. Data2 si pasien dicatet di medical record n CRF. ntar kita crosscheck ke medical record apakah si dokternyalin datanya bener apa engga, trus kita cek juga apakah pasiennya memenuhi kriteria yang kita mau, trus treatmentnya sesuai protokol atau ga, datanya aneh atau ga. Oiya, kita juga mengontrol terus rekrutmen pasien. kalo rekrutmennya lambat, apa penyebabnya (apakah kriteria pasien yang terlalu susah atau dokternya males) dan langkah apa yang harus dilakukan untuk mempercepat rekrutmen pasien.

Jika sample size sudah mencukupi, maka data pasien ini akan dianalisa dengan metode statistik yang sesuai, oleh bagian data management. kalo hasilnya ok, tentu akan kita share juga dengan bagian marketing untuk membantu promosi. dan tentu saja dipublikasi di jurnal ilmiah. penulisan artikel publikasi kerjasama juga sama penelitinya. Mungkin dia pingin dimasukkin di jurnal mana yang ok, lalu kita bantu penulisannya jika dia membutuhkan bantuan (umumnya sih kita yang nulis ntar dokternya tinggal koreksi n nyantumin namanya).

Kalo data management itu banyakan berhadapan dengan komputer, internet, jurnal2, data. Sedangkan project management berhubungan dengan ketelitian, trus gimana cara menghadapi dokternya (ada yang cunihin, ada yang asik, ada yang strict, dll) pokonya gimana pinter2nya ngadepin mereka demi kelancaran penelitian dan agar hasilnya valid. Trus gimana caranya kita nyari2 info tentang situasi di site tersebut, karena mungkin aja penelitian jadi terhambat karena faktor dari luar. Trus cari info nama2 dokter yang emang seneng penelitian, siapa tau dibutuhkan untk penelitian selanjutnya

Sukanya di CR..... kalo proyeknya di luar kota ya jadi sering jalan2 keluar kota. Kalo melibatkan site di negara lain, ya jalan2 keluar negeri.
Banyak kenalan. Update terus dengan penelitian terbaru. Merintah2 dokter supaya kerjanya beres n bener (gaya lah..... secara sekarang ada di pihak sponsor alias yang punya proyek, dan dokternya jadi pelaksana proyek)

Yang suka bikin males kerja.... kalo kudu bongkar2 medical record yang ga jelas bentuk dan rupanya, kriting2 kertas dan tulisannya; ngeberesin supporting documents agar memenuhi standar GCP; ketemu dokter yang cunihin, kecentilan, kaga cakep, arogan

Sekarang ini ga banyak PMDN yang punya divisi CR. Setau gw dexa, kalbe, apalagi ya??
Kalo PMA yang punya divisi CR di Indonesia antara lain astra zeneca, Roche, Lundbeck...
CRO indonesia (contract research organization --> penyedia jasa uji klinik partikelir) antara lain namanya PUKO, Equilab, ga tau lagi.
Kalo PMDN, maka data and project management dilakukan di Indonesia. Tapi kalo PMA biasanya di Indonesia cuman ada Project management. Data management di headquarter atau di negara lainnya.

Apa lagi ya.... udah dulu deh. kalo ada pertanyaan lebih lanjut, silakan......

Monday, February 12, 2007

introspeksi diri lah...

LOOK AT INSIDE, DON’T BLAME OUTSIDE

Mengutip ucapan seorang Profesor: ”Gila!!! Perputaran uang di bisnis obat tuh larinya banyakan ke dokter, hampir...(saya lupa angka pasti yang Beliau ucapkan, tapi saya ingat di atas: 50%)...dari uang yang muter di bisnis obat masuk ke saku DOKTER. Jadi wajar aja lah klo Kepala Badan POM-nya dokter. Lha wong apotekernya sendiri ga kompak!”

Rasanya klop dengan yang selama ini saya dengar, walau hanya dari obrolan yang mewarnai permainan bridge kami, bahwa sebagian besar anggaran marketing perusahaan-perusahaan farmasi dialokasikan untuk entertain—kalaulah tidak etis saya sebut ”nyogok”—para dokter. Dan saat saya tanyakan ke Ibu saya—yang kalau sore hari jaga di tempat praktek seorang Dokter Spesialis, dia menjelaskan dengan gamblang: ”emang tuh, kalau lagi pengen seminar ke US, dia tinggal curhat aja ke setiap medrep yang dateng. Ntar mereka bakal berlomba nawarin paket perjalanan yang paling asik! Nah, si dokter tinggal milih aja mana yang paling cihuy...

Satu cerita lagi dari seorang teman yang—awalnya—ingin menerapkan idealismenya di dunia marketing yang sudah dia dengar sendiri kebobrokannya. Tapi terbuktilah ucapan seorang sahabat di zaman Rasulullah saw dahulu (saya lupa lagi nih, tapi yang pasti salah satu dari Khulafaur Rasyidin...) bahwa kejahatan yang terorganisir (saya artikan: sistemik) akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Singkat cerita, teman saya ini mencoba bertahan selama + 3 bulan di awal masa kerjanya sebagai medrep untuk tidak mengeluarkan sepeser pun rupiah untuk entertain setiap dokter yang dia kunjungi. Dia mencoba istiqamah hanya menjelaskan mekanisme kerja dan kualitas obat perusahaannya pada dokter-dokter tersebut. Namun di ujung bulan ke-3 itu pula dia ditegur oleh atasannya: ”saya heran, kamu khan sudah saya kasih duit untuk entertain dokter, kok ngga kamu pake? Liat tuh, sales kamu ga naek-naek, alias lurus-lurus aja! Pokonya jauh dari target, kita ga bisa kaya gini terus...toh kamu sendiri ikut rugi, kaga dapet bonus!!!” Maka teman saya ini pun menyerah, dan dia mulai bermain normal seperti semua teman-temannya sesama medrep.

Saya sendiri kurang tahu anggaran marketing yang normal dari suatu bisnis harusnya seberapa besar. Tapi yang saya yakin, anggaran marketing itu akan mempengaruhi harga jual produk ke konsumen. Sebagai gambaran, di perusahaan tempat saya dulu bekerja, divisi marketing adalah bagian yang benar-benar terpisah dari divisi produksi/manufaktur. Jadi divisi manufaktur membuat obat dan menghitung biaya produksi yang diperlukan, kemudian—bisa dikatakan—dijual ke divisi marketing dengan harga yang disepakati bersama. Selanjutnya obat ada di tangan divisi marketing sepenuhnya. Dapat terlihat, jika divisi marketing ini menganggarkan biaya marketing yang terlampau besar—selain pemasangan iklan di televisi-koran-papan reklame juga harus tetap meng-entertain dokter, maka harga obat yang diberikan ke tangan PBF (Pedagang Besar Farmasi) resmi akan semakin besar pula. Akhirnya, konsumen harus merasakan harga obat yang sangat mahal.

Konsekuensi lain yang lebih mengkhawatirkan dari sistem marketing yang ”sangat bergantung pada dokter” ini adalah pemberian obat yang tidak rasional oleh para dokter; dokter akan mengeluarkan/meresepkan obat tertentu dalam jumlah besar yang mengakibatkan tidak rasionalnya resep-resep yang dia tulis. Dapat dipahami dengan mudah, karena dokter telah banyak ”menerima” pemberian dari perusahaan farmasi tertentu maka dia akan ”berterimakasih” dengan banyak mengeluarkan/meresepkan obat dari perusahaan farmasi itu sehingga penjualan produk obat perusahaan itu meningkat.

Contoh pertama, ada seorang dokter yang—apapun penyakit pasiennya—akan selalu mengikutsertakan obat A kedalam racikannya. Contoh kedua, meskipun dokter tersebut sudah mengetahui penyakit si pasien sudah mereda, dia tetap meresepkan obat A dalam dosis yang tinggi. Kemungkinan besar, dokter tersebut sudah menerima entertain dengan nilai yang sangat besar dari perusahaan yang memproduksi obat A tadi. Ini hanya dapat dibuktikan dan disaksikan di lapangan langsung; berbicang-bincanglah dengan para medrep, atau korek-lah sang dokter langsung—bandingkan antara dokter putih dan dokter hitam (you know lah what I mean..?!), atau selidiki dari para perawat yang notabene merupakan orang terdekat dokter dan sedikit-banyak mengetahui kondisi pasiennya, atau yang paling penting nih: jadilah apoteker yang baik yang selalu standby di apoteknya dan melihat langsung lembaran-lembaran resep tersebut sambil dapat berkomunikasi (~counseling, ciehhh..!!) dengan sang pasien.

Saya kenal dengan seorang dokter putih, dan dia pernah menjelaskan bahwa suatu pengobatan haruslah holistik dan mempertimbangkan segala aspek, termasuk aspek ekonomi pasien dan keluarga pasien. Jadi jangan pukul-rata ­berprasangka buruk terhadap semua dokter. Justru para apoteker sendiri yang harus introspeksi diri: sepak terjang para apoteker di perusahaan-perusahaan farmasi dan kelakuan para apoteker penanggungjawab apotek ikut berperan dalam kekacauan bisnis obat ini. Mengingat apotek adalah salah satu ujung mata rantai distribusi obat, maka jadilah apoteker-apoteker yang bertanggungjawab di apotek yang—jika prasangka buruk saya akan profesi dokter di atas benar terjadi—dapat mencegah kasus-kasus pemberian obat yang tidak rasional sekaligus menutup pintu ”main mata” antara perusahaan farmasi dan dokter.

*(as usual..) Yang ga sepakat jangan marah! Mangga’, rame’in aja blog ini ama tulisanmu, otreh?!

…life’s just a small step…a step to meet ALLAH swt Smiling to you... :)

* ArAfAt *

Monday, February 05, 2007

PPIC...PPIC...PPIC...(asa tukang batagor keur jualan)

YOU KNOW IT AS “PPIC”… GREAT ALTERNATIVE ANYWAY

Sedikit cerita tentang kerja di INDUSTRI—diambil dari pengalaman dan pengamatan selama 6 bulan bekerja. Ngingetin lagi aja, klo Lulusan Farmasi (baik yang ngambil Apoteker ato engga, selanjutnya saya sebut: PHARMACIST) punya buaaanyaaak pilihan soal tempat/dunia kerja, jadi bukan cuma bikin obat yang bener di industri doank—bisa juga memasarkan obat-obat tersebut di wilayah Marketing, atau bisa bikin berbagai peraturan mengenai dunia farmasi di Dinas Kesehatan atau Balai Pengawasan Obat dan Makanan, atau bisa jadi mitra sejajar dokter di Rumah Sakit, atau bisa melayani pasien sekaligus berbisnis-ria di Apotek, atau juga bisa dll-dsb. (yang ga kesebut jangan marah! Langsung aja rame’in blog ini ama tulisanmu soal kerjaanmu okreh...PISS!!)

Naah, di industri sendiri banyak divisi/bagian yang bisa ”dicari lowongan kerjanya” oleh para pharmacist. Salah satunya—yang menurut saya kurang populer—adalah PPIC (Production Planning and Inventory Control). Tapi di tempat saya kerja dulu sih nama divisi ini: LOGISTICS. Dari namanya saja sudah bisa ditebak atau dikira-kira tentang kerjaan di divisi ini kan?! Kalau di-Indonesia-kan, kurang lebih: Perencanaan Proses Produksi dan Pengontrolan Inventaris (inventaris yang dimaksud disini tentulah yang berhubungan langsung dengan Proses Produksi).

Yang paling utama, PPIC bertanggungjawab terhadap pengadaan berbagai macam bahan baku yang diperlukan untuk proses produksi, baik bahan aktif, bahan pembantu, maupun bahan-bahan kemas. Pokonya bagaimana caranya proses produksi bisa terus berjalan tanpa muncul berbagai masalah yang bersumber dari inventaris bahan baku produksi, misalnya: “minggu depan jadwal produksi tablet TrimetUzan®, tapi kartonnya ga lolos QC nih, karton yang baru paling juga datengnya bulan depan!!!”

Selanjutnya, karena yang setiap saat paling tahu mengenai jenis dan jumlah stok bahan-bahan baku yang disimpan di gudang adalah PPIC, maka PPIC pula yang harus merencanakan mengenai jadwal produksi; apakah besok giliran produksi tablet, sirup, atau yang lainnya… Jadi: “klo stok bahan untuk produksi tablet TrimetUzan® lagi ga ada, ya dalam waktu dekat jangan nge-jadwal-in tablet ini donk untuk diproduksi!!!”

Jadi jelas ya, klo PPIC harus mempertimbangkan berbagai aspek. Jangan sampe karena pengen ”aman”, semua bahan baku didatangkan dalam jumlah besar dari awal! Perlu perhitungan yang jelas-matang-akurat akan berbagai hal, diantaranya:

  1. Dimulai dari target produksi yang telah disepakati bersama (misal: ”pokonya bulan depan tablet TrimetUzan® harus ada 100 batch, sirop TrimetUzan® cukup 200 batch aja, dan krim TrimetUzan® saya minta cukup 300 batch!!!”).
  2. Mempertimbangkan lead-time (”waktu tunggu” maksudnya..) kedatangan barang sejak tanggal pemesanan (misal: ”mendatangkan avicel dari India untuk kebutuhan tablet TrimetUzan® butuh waktu 6 bulan sejak keluar in-voice!!!”).
  3. Mempertimbangkan kapasitas gudang tentunya. (misal: ”kapasitas gudang kita cuma 20 pallet tuh!!!”).

Hmm...baru 3 poin nih, apalagi ya?! Tapi cukup simple khan utk kamu yang suka tantangan nge-manage dan nge-planning??? Maksud saya, bakal kerasa puyeng-nya tuh ntar klo udah ngerasain sendiri. Tapi tenang aja, dengan sistem inventory yang canggih (kalau perusahaannya make yang canggih ya..huehehe..) ga akan sulit kok untuk memantau stok bahan baku dan bahan kemas yang jenisnya bisa mencapai ratusan!

Dari tanggungjawab divisi PPIC seperti tergambar kasar di atas, tentunya akan muncul pekerjaan-pekerjaan turunan yang menjadi tanggungjawab para staf PPIC, misalnya saja:

  • Meeting bulanan atau setiap X-bulan sekali dengan divisi-divisi terkait untuk menentukan target produksi. Otomatis haruslah menyiapkan report-report (alias laporan-laporan tahunan, bulanan, bahkan mingguan?!) untuk menghadapi meeting tersebut.
  • Membuat jadwal produksi plus memeriksa/monitoring kondisi stok bahan-bahan baku/kemas.
  • Penyiapan/pembuatan berbagai macam dokumen yang berhubungan dengan pemesanan/pengadaan bahan baku atau bahan kemas.
  • Korespondensi atau—kalau perlu—kejar pake telepon para supplier bahan baku atau bahan kemas.
  • Berkoordinasi dengan Divisi Produksi mengenai proses produksi yang sedang berjalan, akan berjalan, atau ”tertunda” berjalan.
  • Berkoordinasi dengan Divisi Quality (QA/QC) mengenai proses pemeriksaan bahan-bahan baku/kemas yang masuk.
  • Berkoordinasi dengan pihak gudang (di tempat saya bekerja, gudang ada di bawah divisi PPIC langsung), memastikan kondisi fisik gudang (penuh dengan barang ataukah sangat penuh!!!), mengontrol proses penyimpanan, penerimaan, dan pengeluaran barang berjalan sesuai SOP (Standard Operational Procedure), pembuatan SOP sebagai panduan kerja para staf gudang. Nah, mungkin ilmu farmasinya para pharmacist di divisi PPIC akan terlihat dibutuhkan untuk poin terakhir ini—concern in handling and storage of the materials!!!

Jadi gimana??? Tertarik untuk hijrah dan berkarir di dunia ”planning”? Keliatan khan, klo disini wawasan sebagai seorang pharmacist tetap dibutuhkan, plus skill management and planning-mu juga... Dan—kata seorang temen—klo ”kepepet”, peluang masuk ke divisi PPIC perusahaan non-farmasi pun terbuka lebar, tinggal nambahin ”product knowledge” dari perusahaan ybs aja tho, insyaAllah keterima deh di perusahaan itu, tul ga?!

…life’s just a small step…a step to meet ALLAH swt Smiling to you... :)

* ArAfAt *